Beberapa bulan yang lalu, sejak pertama kali Rangga
mengenal Cinta… sekolah mendapatkan gairah dan gossip terbaru. Mereka tampaknya
lebih terkenal dari pasangan seleb legendaris – Cut Menari dan Ariel Peterporn.
Setiap hari, setiap saat… Rangga sering menemui
Cinta, dan Cinta sering ditemui Rangga (contoh pemborosan bahasa banget, nih). Pria
yang tampan, tegap, berambut ikal itu memang unik. Perpaduan wajahnya sudah
bagaikan penyatuan dari Nicholas Saputra, Limbad, dan Pak Tarno. Sedangkan
Cinta adalah seorang manusia dengan rambut lurus panjang dan kulit kuning
langsat, hanya saja dengan ciri yang sangat spesifik dan perbedaan yang besar.
Banyak yang mengatakan kalau Cinta bukanlah wanita. Andaikan ada yang melihatnya
sekilas, pastilah orang itu akan berkata bahwa Cinta adalah Dian Sastro yang
dianugerahi rangkaian kumis, jenggot, dan cambang (wow???).
Ada satu hal yang mengikat antara Cinta dan Rangga
dari hati yang terdalam. Mereka berdua sangat menyenangi puisi dan kata-kata
yang indah. Setiap hari, Rangga yang kemayu dan sangat feminim selalu menulis
puisi untuk Cinta yang malah terlihat lebih kekar dan jantan. Ada sebuah puisi
yang sangat Cinta sukai. Judulnya ialah : “Aku” karya Chairil Anwar. Setiap
hari ia menyuruh Rangga membaca itu, pada saat kalimat pertama yang berbunyi :
“Aku adalah Binatang Jalang”… Cinta segera mengambil sebuah cambuk dan memecut
pria tersebut. Ini pacaran atau penyiksaan ya…?
Pada suatu sore yang tenang di taman, Rangga dan
Cinta duduk berdua. Tidak ada orang lain di tempat mereka berdua, kecuali
beberapa rombongan ibu-ibu pengajian. Rangga (seperti biasanya) segera
memberikan puisi romantis untuk Cinta. Mata dan kumis Cinta segera basah, ia
terharu.
Cinta minta Rangga untuk membacakan puisi itu.
Rangga tersenyum dengan gaya yang lemah gemulai sambil membenarkan sebuah pita
kecil di rambutnya yang ikal dan gondrong.
“Puisi
untuk Cinta…”
Serunya. Saking terharu, jenggot Cinta segera saja
berkilatan karena cucuran air mata romantis.
“Cinta…
oh… Cinta…”
Kalimat pertama dibacakan, Cinta hampir pingsan,
hidungnya mengeluarkan ingus dan mimisan.
“Cinta…
hanya kaulah gadis di dalam hidupku, meskipun kau tidak tampak seperti gadis
sama sekali…”
Wajah Rangga sangat serius, ia menghirup nafas dalam-dalam.
“Cinta…
andaikan aku ini tanaman, kau ibarat hama werengnya! Andaikan aku ini sapi, kau
pastilah si tukang jagalnya!”
Ratusan ibu-ibu pengajian menengok Rangga dengan
sangat heran begitu ia membaca keras-keras kalimat tersebut. Mereka berdua tidak
terlihat seperti orang pacaran, malah lebih tampak seolah-olah mereka itu
adalah dua orang pelajar yang mungkin saja mengidap autis.
“Cinta…
oh Cinta…”
Rangga melanjutkan kembali puisinya. Ia fokus sekali
di depan kertas sehingga tidak melihat Cinta yang sangat antusias dan sudah
memakan rumput (saking tidak sabar menunggu kalimat yang lain).
“Oh
my God Cinta… engkau bagaikan bidadari yang tampak seperti setan! Engkau
bagaikan seorang Puteri yang telah salah asuhan!”
Cinta mendesah dan berteriak histeris mendengarnya. Rangga
tersenyum, dan rombongan ibu-ibu mulai menggesek-gesekkan jari mereka di dahi
masing-masing.
“Cinta..
oh Cinta…”
Ucap Rangga kemudian.
“Meskipun
orang lain tidak percaya bahwa kau wanita… tapi bagiku. Engkau memang seperti
laki-laki! Mari kita selalu bersama sehidup-semati! Aku sendiri hidup… dan kau
yang mati.”
“Oh
Rangga! Kau terlalu besar memujiku!”
Seru Cinta cepat menghentikan puisinya. Rangga
dipuji, Rangga tersenyum. Ia dengan cepat membenarkan pita bibir di rambutnya
kembali. Bagi mereka, ini adalah surga. Bagi rombongan ibu-ibu yang melihat,
ini adalah sebuah tanda-tanda kalau kiamat sudah sangat dekat sekali.
Setelah Rangga selesai dengan puisinya, ia segera
mengambil sesuatu yang lain. Sebuah kalung rantai besar, yang biasa
dipergunakan orang untuk mengikat kapal kecil. Cinta mendelik dan kaget, untuk
apa itu?
Rangga tersenyum lagi. Ia mengatakan kalau benda itu
akan dipergunakan untuk mengikat cinta di dalam kandang agar mereka tidak bisa
berpisah lagi. Seorang ibu-ibu dari rombongan yang menonton tingkah mereka
segera memberikan pesan singkat kepada polisi dan psikiater untuk menangkap dua
orang itu.
“Rangga…
kamu terlalu baik. Tunggu, aku ada juga bingkisan buatmu”
Seru Cinta yang merapikan janggut dan kumis sebelum
ia merogoh ke dalam tas sekolah yang terbuat dari kotak besi. Ada sebuah benda
yang harus dimiliki oleh Rangga saat ini, benda itu dinamakan “Taser”.
“Ini
buat apa Cinta?”
Tanya Rangga.
“Ini
buat menyetrum kamu, agar selau cinta denganku!”
Ujar Cinta riang, sedang Rangga mendadak pucat dan
takut. Taser yang Cinta pegang mempunyai kekuatan 5500 Watt – 220 Volt, benda yang mampu membuat pingsan Kuda Nil. Rangga
takut kalau dihajar dengan itu, ia akan mati terlebih dahulu sebelum kawin.
Rangga mengucapkan kalau Taser terlalu berbahaya. Cinta
mengangguk, dan ia mengambil sebuah barang yang lain.
“Kalau
ini?”
Ada sebuah botol kecil dengan kaca yang kecoklatan.
Tampak aman, tetapi Rangga harus bertanya lebih lanjut.
“Ini
apa Cinta?”
“Oh…
ini botol ramuan ajaib! Sekali minum, pasti kamu mabuk kepayang denganku!”
Rangga mengernyit.
“Memangnya
itu ramuan apa?”
“Namanya
“Cinta Milk”! Isinya adalah susu kucing yang dicampur dengan oli mesin, sayang…
minum yah?”
Cinta bertingkah semakin aneh. Ada Apa-Apa Dengan Cinta… ia terlihat ingin membunuh pacar yang
kemayu itu.
“Nggak!
Aku nggak mau!”
Rangga menolak, dan akhirnya Cinta langsung naik pitam.
Dengan segera ia merobek baju sekolahnya, ternyata tubuhnya sudah dilapisi oleh
sebuah T-Shirt bergambar tengkorak!
“Cinta!?!”
“Minum
lu! Awas, gua bantai entar!!”
Cinta mengancamnya dengan mengacungkan sebuah tinju dari
tangan yang kekar, penuh urat, dan berbulu. Sedang Rangga menangis kencang
sehingga bedak dan gincu di wajahnya luntur.
“Cinta!
Kamu nggak seperti perempuan!”
Seru Rangga takut, ibu-ibu yang melihat kegiatan
mereka… semuanya mengambil handphone masing-masing. Ada yang menghubungi
polisi, ada yang menelpon TNI, ada juga yang segera memanggil tukang gali kubur
terdekat. Rangga benar-benar ketakutan setengah mati, apalagi kursi taman
tempat mereka duduk sudah dijatuhkan dan dimakan oleh Cinta dengan rakus.
“Cinta…?
Ada apa sih? Kok kamu kayak gitu, sayang???”
Pekik Rangga dengan keringat yang juga sudah
melunturkan eye-shadow yang ia pakai.
Cinta tertawa, ia segera berujar :
“Kamu
bilang aku tidak seperti perempuan!?!”
Hardik Cinta dengan suara yang berat dan garang.
“I…
iya! Ha.. habis kamu kayak gitu!”
Seru Rangga khawatir bukan kepalang.
“Aku
memang bukan perempuan, bego!!!”
Rangga terperanjat dan terbangkit dari posisi
duduknya.
“Jadi…
jadi kamu bukan wanita?”
“Ya
iya lah! Coba kamu lihat, aku sekolah aja pake celana panjang, bukan rok!!”
“Ta…
tapi selama ini?!”
“Selama
ini aku berbohong Rangga! Aku sengaja memperalatmu agar dendam keluargaku bisa
tersampaikan!”
Rangga memukul dahinya dengan keras. Ia sangat
bodoh, bodoh sekali! Seharusnya ia tahu, kalau seorang wanita itu ciri-cirinya
tidak akan mempunyai kumis, cambang, dan jenggot! Dari kejauhan, para polisi,
tentara (mulai dari angkatan laut-darat-udara-dunia lain) sudah datang. Mereka menerima
pesan singkat dari para ibu-ibu.
Rangga setengah mati bertanya, kalau ada salah apa
keluarganya dengan Cinta selama ini. Cinta mengatakan kalau nama aslinya itu
Sumarno, Rangga mendelik terkejut. Sumarno memang bukan nama yang asing. Sumarno
adalah seorang anak dari tukang kebun yang dipecat oleh keluarga Rangga karena
rumput yang dipotongnya kurang tipis 1 mili.
Nyawa Rangga di ujung tanduk! Untung saja aparat
cepat bertindak untuk mengamankan situasi itu.
“Jangan
bergerak! Tangan di atas, gerakan sempurna, lalu goyang poco-poco!”
Hardik mereka ke arah Cinta (alias Sumarno), dan
Rangga. Rombongan ibu-ibu pengajian sudah berkemas ingin pergi, dan menyerahkan
urusan mereka kepada para aparat yang juga sudah membawa sebuah tank itu.
“Ah..
akhirnya”
Rangga sangat lega karena berhasil terhindar dari
pembunuhan yang keji. Ia segera mendekat ke aparat, tetapi para aparat malah
berteriak lagi.
“Kau!
Diam di tempat!! Yang kumisan dan berjenggot, segera berlindung!”
“APA!?!”
Rangga heran, kok bisa-bisanya ia yang dituduh
sebagai tersangka? Cinta (alias Sumarno) yang jelas-jelas ingin membunuhnya
malah disuruh berlindung??
“Pak!
Yang korban itu saya!!! Saya mau disetrum, diracun, dan dibunuh!!!”
Teriak Rangga sebal, ia benar-benar tidak mengerti
(begitu juga dengan penulis). Hehehe…
“Alah!
Kamu alasan! Sekarang ikut ke kantor!!!”
Salah seorang petugas segera memborgol Rangga dengan
cepat.
“Ta…
tapi salah saya apa pak!?!”
Rangga masih berusaha berontak dan menjelaskan
situasi.
“Banyak!
Kamu tahu nggak, kamu tampak mencurigakan! Kamu cowok, tapi pake rok – pita –
dan dandanan kayak gitu… pasti kamu banci yang lagi ngamen kan!?! Ikut saya!
Saya akan serahkan kamu pada Kamtib!”
Rangga sudah tidak bisa lagi berkata apa-apa. Penampilannya
memang terlihat sangat salah hari ini, bahkan ia juga memang membawa
kerincingan tutup botol yang biasa digunakan para pengamen di dalam tas. Sebagai informasi rahasia, siang hari memang
Rangga selalu dipanggil “Rangga”, tetapi kalau malam… Rangga dipanggil “Reni”.
“Pak!
Ampun pak! Rempong deh, eke belom ngamen tahu!!!”
Teriak Rangga spontan, ia tidak mau diserep ke
kamtib, tetapi mau apa lagi? Sudah tidak ada harapan. Akhirnya seperti itulah
para pembaca yang normal dan budiman. Rangga ditangkap dan diberikan bimbingan,
orang tuanya dipanggil. Sedang Cinta (alias Sumarno) jelas merasa menang. Ia
tidak dicurigai sebagai banci, karena siapa saja tahu kalau ia pria… bukan
seorang gadis. Hanya Rangga saja yang terlalu bodoh untuk tahu perbedaan antara
wanita dan laki-laki. Jadi, Ada Apa-Apa
Dengan Cinta? Benar, ada apa-apa sekali! Gara-gara “ada apa-apa” itulah Rangga
masuk dalam jebakan, yang akhirnya ditangkap oleh aparat ke kantor kamtib.
0 komentar:
Posting Komentar